Di India seperti halnya umat Hindu di Indonesia
mengenal banyak hari-hari besar keagamaan atau hari raya yang seluruhnya dapat
dibedakan menjadi tiga 3 kelompok , yaitu : Pertama, hari-hari
pesta keagamaan (festivals) yang dilakukan dengan meriah, seperti Chitrra
Purinima, Durgapuja atau Navaratri, Dipavali, Gayatri Japa, Guru Purnima. Holi
, Makara Sankranti, Raksabandha, Vasanta Panchami dan lain-lain. Kedua, adalah hari peringatan
kelahiran tokoh-tokoh suci yang disebut Jayanti atau Janmasthani seperti Ganesa
Caturti, Gita Jayanti, Valmiki Jayanti, Hanuman Jayanti, Krisna Janmasthani,
Sankara Jayanti, Ramanavami dan lain-lain dan Ketiga adalah
hari untuk melaksanakan Brata(Vrata) atau Upavasa (Puasa) misalnya Sivaratri,
Satyanarayana Vrata, Vara Laksmi Vrata, Ekadasi dan lain-lain.
Citra
Purnima jatuh pada hari purnama
bulan Chaitra,
yakni bulan pertama dari penanggalan Saka, pemujaan ditujukan kepada dewa Yama,
dewa maut dengan mempersembahkan sesajen berupa nasi berisi bumbu (sejenis “bubur pitara” di Bali) yang kemudian setelah dipersembahkan makanan atau
prasadam (di Bali disebut “lungsuran”) dibagikan kepada mereka yang mengikuti upacara.
Durgapuja
atau Navaratri disebut juga Dussera
atau Dasahara jatuh pada tanggal 1 sampai dengan 10 paro terang bulan Aswasuja
atau Asuji (September-Oktober) untuk memperingati kemenangan Dharma terhadap
Adharma, Upacara ini adalah untuk menghormati kemengangan Sri Rama melawan
Rawana yang disebut juga Dasamukha (berkepala sepuluh). Konon Sri Rama berhasil
jaya oleh karena anugerah Dewi Durga, karena itu sebagian umat Hindu memuja
-Nya pada hari ini sebagai Durgapuja. Versi lain menyebnutkan sebagai
kemenangan Sri Kresna melawan raksasa Narakasura, Upacara yang berlangsung 10
hari, sembilan hari pertama disebut Vijaya Dasani. Hari raya yang disebut juga
Dussera ini mirip dengan Galungan dan Kuningan di Indonesia.
Dipavali,
artinya persembahan lampu, disebut juga Divali, jatuh dua hari sebelum Tilem (
bulam mati) kartika ( Oktober-November), beliau disambut dengan penyalaan lampu-lampu,
kembang api dan mercon semalam suntuk. Pagi hingga siang hari dilakukan
persembahyangan keluarga di pura-pura terdekat di samping kunjungan keluarga,
suasananya seperti Ngembak Agni di Bali. Gayatri Japa, jatuh sehari setelah
purnama Sravana (Kasa) bulan Juli atau agustus, sebagai peringatan turunnya
mantram Gayatri yang kini populer menjadi mantra Japa yang sangat penting dan
sangat dikeramatkan oleh umat Hindu.
Guru Purnima jatuh pada hari purnama
Asadha (bulan Juli-Agustus), hari ini disebut juga Vyasa Jayanti, hari lahirnya
maharesi Vyasa. Makna hari raya ini mirip dengan Pagerwesi. Sejak purnama ini
selama 4 bulan ( Caturmasa) para Sanyasin tidak lagi mengembara (karena musim
hujan), mereka tinggal di asram-asram mendiskusikan Brahmasutra dan melakukan
meditasi.
Holi, hari ini jatuh pada purnama Phalguna ( Kawulu), bulan
Februari-Maret,
dirayakan diseluruh India sangat meriah , maknanya untuk menyambut musim panas
dikaitkan dengan raksasa perampuan bernama Holika yang akhirnya mati terbakar
dikalahkan oleh kenbenaran yang dimanifestasikan oleh Prahlada. Upacaranya mirp
dengan mecaru di perempatan-perempatan desa di Bali dan membuat api unggun yang
dinyalakan pada saat menjelang malam.
Makara Sankranti jatuh pada pertengahan
januari, pada saat itu matahari mulai bergerak ke arah utara Katulistiwa,
sebagian besar umat Hindu menyucikan diri di sungai Gangga atau sungai sungai
suci lainya di India, pemujaan ditujukan kepada dewa Surya.
Raksabandha jatuh pada hari purnama Sravana(Kasa), Juli- Agustus hari untuk menguatkan
tali kasih sayang antara suami-istri, anak orang tua, kemenakan dengan
paman/bibi, murid dengan guru dan sebaliknya, mengingatkan cintanya dewi Sachi
kepada Indra. Pada hari ini pagi-pagi benar umat Hindu menyucikan diri ke
sungai Gangga atau sungai-sungai suci lainya. Selesai sembahyang dilanjutkan
dengan pengikatan benang pada pergelangan tangan masing-masing, tanda
memperteguh ikatan kasih sayang.
Vasanta
Panchami jatuh pada hari kelima
paro terang ( Suklapaksa Magha masa), yakni bulan Januari-Februari dalam menyambut musim
semi (Vasanta), seperti halnya hari-hari suci lainya, pada hari ini juga umat
hindu mandi suci di sungai Gangga atau sungai-sungai suci lainya di India,
disamping melakukan meditasi atau yoga Sadhana.
Hari-hari lainya yang berkaitan dengan peringatan
kelahiran tokoh seperti Ganesa Caturti
jatuh pada tanggal 4 paro terang Badrapada ( Agustus – september ) memperingati kelahiran
Ganesa putra Siva. Para pemuja Ganesa melakukan japa, bermeditasi mengingat
nama-Nya.
Gita
Jayatri adalah memperingati
turunnya sabda suci Bhagawandgita, jatuh pada Ekadasi Suklapaksa Màrgasirsa
yakni hari ke sebelas paro terang bulan Màrgasirsa
(Desember-Januari),
seperti dimaklumi Bhagawadgita disampaikan oleh Sri Kresna kepada Arjuna di
padang Kurusetra, tepat terjadinya peristiwa rohani ini kini disebut Jyotisara,
sekitar 3 kilometer dari tempatnya Rsi Bhisma terbaring menunggu matahari
bergerak ke Utara.
Valmiki
Jayanti jatuh beberapa hari
menjelang Dipavali adalah untuk memperingati tokoh hindu, penyusun Ramayana
sedang Hanuman Jayanti jatuh pada purnama Chaitra ( Bulan Maret-April) bersamaan dengan hari
Chaitra Purnama, untuk memuja Yama, Kresna Janasthami jatuh pada hari ke 8 paro
petang bulan Bhadrapada ( Agustus-September) untuk memperingati kelahiran Sri
Kresna di kota Mathura, sebuah kota suci ditepi sungai Yamuna.
Sankara
Jayanti jatuh pada tanggal 5
paro terang bulan Vaisaka ( Mei-Juni) untuk menghormati tokoh spiritual India peletak
dasar ajaran Advaita Vedanta. Sri Sankara dikenal sebagai gurudeva dari para
Sanyasin di seluruh India.
Ramanavani
Jayanti adalah peringatan hari
kelaiharan Sri Rama yang jatuh pada tanggal 9 paro terang bulan Chaitra (
Maret-April) .
Sri Rama lahir di kota suci Ayodya, di Uttar Pradesh, India Utara.
Hari yang berkaitan dengan Brata atau Upavasa adalah
Sivaratri hari ini jatuh pada tanggal 14
paro gelap bulan Maghadan Phalguna ( yakni bulan januari dan Februari ).
Umat Hindu di Indonesia melaksanakannya pada bulan Magha ( sasih Kapitu),
sedang umat Hindu di India melakukan pada bulan Phalguna ( Kawulu). Hal ini
mungkin disebabkan saat itu merupakan bulan mati paling gelap di India.
Satya
Narayana Vrata umumnya dilakukan pada hari-hari
purnama seperti Kartika ( Kapat), Vaisaka ( Kadasa), Sravana(Kasa), dan Chaitra
( Kasanga)
dapat juga dilakukan pada saat bulan terbit ( tanggal 1 paro terang/penanggal).
Bentuknya sangat sederhana yakni berupa persembahan dana punia kepada para pandita
dan pemberian / pembagian makanan kepada orang-orang miskin.
Ekadasi
atau Vaikunta Ekadasi Vrata jatuh pada tanggal dab
panglong dan penanggal 11 bulan Màrgasisra (
Desember-Januari), 2
kali sebulan berupa puasa tidak makan nasi pada hari itu. meraka yang melakukan
Ekadasi Vrata terbebas dari segala dosa.
Vara
Laksmi Vrata , dilakukan pada hari Jumat bulan Sravana ( kasa) bulan Juli – Agustus untuk memohon
kesejahteraan lahir dan bathin. Masih banyak kita jumpai informasi tentang Brata
atau Upavasa di dalam kitab-kitab Ithiasa dan Puranba yang rupanya beberapa
diantaranya dipetik dan diabadikan dalam lontar lontar tentang Bratha di Bali.
Telah dijelaskan di depan bahwa hari
raya keagamaan yang mirip dengan galuingan dan kuningan adalah hari Durgapuja
atau Navaratri yang diakhiri dengan Vijaya Dasani dirayakan hampir diseluruh
India. menurut Svami Sivananda dalam bukunya Fasts & Festivals of India
(1991) India bahwa permulaan musim panas dan permulaan musim dingin, dua hal
yang sangat penting adalah pengaruh matahari dan Iklim. Pda kedua perioda ini
adalah kesempatan yang baik memuja iklim. Durga ( manifestasi Tuhan Yang Maha
Esa segabai seorang Ibu) yakni dilakukan bertepatan dengan Ramanavani pada
bulan Chaitra ( April-Mei) dan pada Durga Navarartri atau VijayaDasami pada
bulan Asuji (September – Oktober) . Sri Rama
dipuja pada saat Ramanavami sedang dewi dewi Durga di puja pada Navaratri.
Durgapuja ini dirayakan secara besar-besaran dengan menghias altar ( tempat
pemujaan keluarga, biasanya dalam kamar suci, tidak mempunyai pemerajan seperti
kita di Indonesia). Tiga hari pertama pemujaan ditujukan kepada dewi Durga,
tiga hari selanjutnya kepada dewi Laksmi dan tiga hari berikutnya kepada dewi
Sarasvati.
Pada Pucak perayaan, hari ke sepuluh ( Vijaya
Dasami) sejak pagi hari umat telah melakukan sembahyang dirumah ditujukan
kepada ketiga dewi tadi, didahului dengan pemnujaan kepada Ganesa dan diakhiri
denan pemujaan kepada dewa Siva atau Istadevata lainya. Selesai pemujaan
dilanjutkan denan Dhyana atai meditasi dan pembacaan kitab-kitab suci khusunnya
Dewi Sukta dari Rgveda, Dewi Mahatya, Bhagavadgita, Upanisad, Brahmasutra atau
kitab Ramayana. Umat pada umumnya sejak pagi sudah mengucapkan Bhajan atau
kidung-kidung memuja keagungan Tuhan Yang Maha Esa . Berbagai jenus makanan
dipersembahkan dan akhir dari persembahyangan bersama dalam keluarga atau di
pura ( Mandir ) selalu dibagikan Pradasam atau lungsuran untuk dinikmati
bersama. Dewasa ini resepsi perayaan Durgapuja atau Wijaya Dasami dilakukan puladi
kantor-kantor pemerintah dan swasta, juga disekolah-sekolah , selesai
persembahyangan pada umumnya umat melakukan Dharmasanti, yakni kunjungan kepada
keluarga terdekat, para guru pandita maupun sahabat atau tetangga. Saat ini
semua keluarga berkumpul, karena itu beberapa hari kota-kota besar seperti
mati, karena suasananya sepi, Ketika malam tiba, mulailah dilaksanakan
pembakaran patung patung rawana yang digambarkan berkepala sepuluh, juga
adiknya kumbakarna dan putranya meghananda, di India Timur dan selatan
dilanjutkan dengan mengarak arca atau patung Durga, seorang dewi yang amat
cantik bertangan sepuluh. Pembakaran atau terbunuhnya Rawana dan pengikutnya
selalu dudahului dengan drama tari Ramayana dan keesokan harinya umat datang ke
sungai-sungai suci untuk mandi menyucikan diri. Demikianlah pelaksanaan Vijaya
Dasami, sedang peringatan tahun Baru Saka yang kita kenal dengan hari raya
Nyepi tidak dikenal/dirayakan oagi di India, walaupun pada jaman dahulu hampir
seluruh India mengenal dan menggunakan tahun Saka. Kini di India hanya
pemerintah yang menetapkan tahun baru Saka setiap tanggal 22 Maret bila tahun
biasa dan 21 maret bila Tahun Kabisat dan masyarakat umum kurang memperhatikan
hal itu. Di India selain tahun Saka, dikenal juga tahun Harsa ( Harsa Sampat),
tahun Vikrama ( Vikrama Sampat) dan lain-lain. Informasi yang saya terima tahun
yang lalau di Nepal umat Hindu juga merayakan tahun baru Saka bersamaan denan
hari raya Nyepi kita di Indonesia. Untuk dimaklumi Nepal adalah satu-satunya
kerajaan hindu di dunia yang tempatnya di pegunungan Himalaya. Arsitektur pura
di Neval bentukya sama denan Meru di Bali ( Indonesia), manunjukkan hubungan
yang erat pengaruh Hindu ( India) terhadap Indonesia. Rupanya karena perbedaan
musim dan tidak ada raja yang menjadikan Sri Rama sebagai Istadevata maupun
karena sistem kalender yang digunakan di Indonesia, kita hanya mengenal
Galungan dua kali dalam setahun, seperti halnya juga Sarasvati puja.
Selanjutnya bila kita memperhatikan persembahyangan
yang dilakukan sehari menjelang hari raya Holi, yakni berupa persembahan biji
bijian dan bunga serta pada air pada perempatan-perampatan desa yang telah
menyiapkan kayu api untuik apiu unggun mengingat kita pada upacara Catur Tawur
Kasanga, sehari menjelang Nyepi, sedang pelaksanaan Sivaratri hampir sama
dengan di Indonesia.
Permulaan Perayaan Galungan di Bali (Indonesia)
Sungguh amat sulit memastikan hal ini, bila kita
menegok kembali pada sumber tradisi di Bali di antaranya kitab Usana bali dan
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh bapak K.Ginarsa terhadap
prasasti-prasasti jaman bali Kuna maka dapat disimpulkan baha Galungan telah
dirayakan pada jaman Valajaya atau Tarunajaya yang didalam lontar Usana Bali
disebut Jayakusuma putra dari raja Bhatara Guru yang memerintah pada tahun saka
1246 -1250 . Didalam lontar Usana Bali dinyatakan bahwa para raja pendek
usianya disebabkan melupakan tradisi untuk merayakan Galungan ( yakni upacara
pabhyakalan pada Kala Tiga ning Dungulan)
Bila kita melihat upacara Sradha, yakni upacara
penyucian roh sang raja Gunapriya Dharmapathi, permaisuri raja Dharma udayana
Varmadewa yang memerintah Saka 911-929 dan ketika mangkat rohnya disatukan
dengan Istadevata-Nya sebagai Durgamahisa sura mardini, yaitu Dewi Durga sedang
membunuh raksasa dalam wujudnya seekor kerbau ( kini arcanya tersimpan di pura
kedarman burwan kutri, Gianyar), maka upacara Durgapuja telah dilaksanakan pada
waktu itu. Upacara penyatuan roh yang telah disucikan dengan dewata pujaan
(Istadevata) disebut mencapai tingkatan Atmasiddhadevata dan hal ini dapat kita
lihat dari Informasi penyucian roh leluhur raja Hayam Wuruk, yakni Ratu gayatri
di Pura penataran yang dalam kitab Nagarakrtagama, Pura ini disebut Hyang I
Palah.
Upacara Durgapuja pada waktu itu belum disebut
galungan, melainkan disebut ”
atawuri umah anucyaken pitara”
yang artinya upacara selamatan rumah dan penyucian roh ( leluhur), sebagaimana
bunyi prasasti Suradhipa tahun Saka 1037.
Istilah Galungan rupanya pertama kali disebut dalam
prasasti yang di keluarkan oleh raja Jaya Sakti tahun Saka 1055, disamping juga
sesajen yang bernama Tahapan-stri, persembahan yang ditujukan kepada dewi Durga
Sakti Siva, karena dewi Durga- lah yang dapat membasmi berbagai bentuk
kejahatan dalam wujud raksasa.. Ciri khas persembahan kepada dewi Durga adalah
berupa daging babi yang sampai kini masih tersisa di Bengala dan Nepal dan rupanya
penggunaan daging babi ( yang juga warisi di Bali) adalah tradisi dari upacara
Durgapuja itu.
Selanjnya bila kita melihat penaggalan bali, dalam
hitungan hari yang disebut Astawara, maka sejak Radite sampai dengan Anggara
Wage Dungulan, hari-hari itu bertepatan dengan Kala, karenanya disebut Sang
Kala Tiga, sedang pada hari galungan ( Buda Kliwon Dungulan) adalah Uma, nama
lain dari Durga dalam aspek Santa ( damai) pada saat ini umat memohon
anugerahnya. Hari Galungan di samping memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspek
beliau sebagai Uma, Durga atau Siva Mahdeva, bagi umat Hindu di Bali adalah
juga merupakan hari pemujaan kepada leluhur. Hal ini dapat kita lihat dari
rangkaian dari dan upacara Galungan, sejak Sugihan Jawa, Bali sampai dengan
Sabtu Umanis Wuku Kuningan , akhir dari rangkaian perayaan Galungan.
Berdasarkan penjelasan tadi, Galungan telah dimulai
sejak jaman Bali Kuna dan hingga kini tetap dirayakan. Jelaslah bagi kita
upacara Galungan memiliki kesamaan makna dengan upacara Durgapuja atau Sradha
Vijaya Dasani di India. Tentang filsafat Galungan ini kiranya dapat dilihat
dari keputusan Seminar Kesatuan Tafsir kiranya dapat aspek-aspek agama hindu I
di Amlapura, 1975 yang telah pula ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma
Indonesia, sebagai hari kemenangan Dharma melawan a Dharma, kebenaran melawan kejahatan.
Hal yang tergantung adalah adanya transformasi diri
bahwa dengan persembahyangan yang mantap pada hari-hari besar keagamaan
diharapkan kita lebbih maju dalam bidang spiritual. Transformasi yang dimaksud
adalah perubahan diri dari tadinya yang masih dibelenggu oleh sifat loba atau
tamak, angkuh, suka menipu orang dan perbuatan sejenisnya berubah menjadi
dermawan, suka menolong hidup lainyua. Transformasi diri akan terjadi dengan
sendirinya bila mampu mengaktualisasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah artinya berbagai bentuk perayaan dan persembahyangan yang kita lakukan
bila tidak terjadi perubahan diri, sipat-sifat Adharma senantiasa menguasai
kita. Tentunya hal itu akan sia-sia.
Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan dalam
rangka memperingati hari-hari raya keagamaan ini dan sesuai pula dengan
pengertian agama yakni mewujudkan “kerahayuan
jagat”, disamping kegiatan
ritual, kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dan kemanusiaan sangat mutlak
dilakukan. Disinilah pentingnya aktualisasi dan reaktualisasi agama dalam
kehidupan bersama dalam masyarakat. Panitia-panitia perayaan yang ada pada
lingkungan desa atau kantor instansi pemerintah atau swasta dapat melakukan
berbagai kegitan, misalnya dengan donor darah, mengunjungi panti asuhan dan
rumah jompo, memberikan pelayanan kesehatan, penghijaun dan lain-lain. Parisada
Hindu Dharma Indonesia Pusat melalui Pesamuhan Agung 1989 yang lalu menetapkan
6 meteda pembinaan umat, yakni: Dharma Vacana (yakni kotbah/ceramah agama),
Dharma Tula (diskusi/sarasehan agama), Dharma Gita (menyayikan
lagu-lagukeagamaan), Dharma Santi (Silaturahmi/resepsi ), Dharma Sadhana
(merealisasikan ajaran agama melalui yogasamadi ) dan Dharma atau Tirthayatra
mengunjungi tempat-tempat suci untuk mendapatkan kesucian diri ). Bila 6
kegiatan ini dapat dilakukan maka transformasi diri denngan sendirinya terjadi.
Semogalah.