SELAMAT HARI RAYA SIWARATRI *08 JANUARY 2016*
Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa terdiri dari dua unsur
yang utama yaitu purusa dan pradana atau unsur kejiwaan dan unsur kebendaan.
Purusa adalah jiwa yang penuh kesadaran karena bersumber dari atman.
Atman berasal dari Brahman atau Tuhan Yang Maha Esa. Pradana adalah unsur
material yang menjadi dasar jasmani terdiri dari lima unsur yang disebut Panca
Maha Bhuta (tanah, air, api, udara dan angkasa). Karena itu Bhagavadgita
menyebutkan, manusia memiliki dua kecenderungan yaitu kecenderungan kede-waan atau
dewa sampad dan kecenderungan keraksasaan atau asura sampad. Kedua
kecenderungan itu bisa silih berganti muncul setiap saat menguasai manusia.
Jika kecenderungan kedewaan yang menguasai manusia, ma-ka segala
perbuatannya selalu berdasarkan pada sreya karma. Sreya karma mengarahkan
perbuatan yang selalu berdasarkan dharma, karena didorong oleh kesadaran.
Kesadaran itu adalah penguasaan indria oleh pikiran dan pikiran oleh budhi yang
disinari pancaran suci atman. Sebaliknya, kalau kecenderungan keraksasan yang
menguasai diri manusia, maka segala perbuatan manusia selalu didasarkan oleh
wisaya karma. Wisaya karma mengarahkan manusia berbuat di luar dharma bahkan
bertentangan dengan dharma. Perbuatan itu semata-semata didorong wisaya atau
hawa nafsu semata.
Sreya karmamengarahkan perbuatan yang disebut subha karma
(perbuatan baik) dan wisaya karma mengarahkan perbuatan yang disebut asubha
karma (perbuatan yang penuh dosa). Manusia tentu harus menghindari perbuatan
yang penuh dosa. Untuk mengetahui perbuatan dosa dan perbuatan yang sesuai
dengan dharma dapat dilihat contohnya dalam Itihasa dan Purana. Dalam
Mahabharata, Pandawa di bawah tuntunan Sri Krishna selalu berbuat dengan penuh
pertimbangan dharma. Sebaliknya Korawa, saudara sepupu Pandawa, berbuat atas dasar
dorongan hawa nafsu keduniawian saja. Contoh perbuatan yang baik dan buruk,
juga bisa kita temukan dalam Ramayana. Sri Rama selalu bertindak di atas
pertimbangan dharma. Sedangkan Rahwana selalu bertindak berdasarkan dorongan
hawa nafsu yang menyimpang sama sekali dengan dharma.
Berbuat yang selalu berdasarkan dharma tidak segampang membalik
telapak tangan. Tantangan atau godaan acapkali menghadang, sehingga untuk
melakukan kebajikan itu, harus berani menanggung derita, bahkan mempertaruhkan
nyawa. Satu hal yang perlu diingat adalah, agar dapat selalu berbuat
berdasarkan dharma, maka harus selalu memelihara kesadarannya.
Perayaan Siwa Ratri adalah salah satu bentuk ritual Hindu yang mengajarkan kita
untuk selalu memelihara kesadaran diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan
papa. Diakui atau tidak, manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan.
Kerena sering mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan
ketujuh menurut penanggalan Bali), dilangsungkan upacara Siwa Ratri dengan inti
perayaan malam pejagraan. Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar,
eling atau melek. Orang yang selalu jagra-lah yang dapat menghindar dari
perbuatan dosa.
Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan, orang akan memiliki alam
pikiran jernih, apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi
atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah (pikiran). Manah
menguasai indria. Kondisi alam pikiran yang struktural dan ideal seperti itu
amat sulit mendapatkannya. Ia harus selalu diupayakan dengan membangkitkan
kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi kegelapan jiwa. Siwa Ratri (Ratri juga
sering ditulis Latri) adalah malam untuk memu-satkan pikiran pada Sanghyang
Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap. Karena
itu, Siwa Ratri lebih tepat jika disebut “malam kesadaran” atau “malam
pejagraan”, bukan “malam penebusan dosa” sebagaimana sering diartikan oleh
orang yang masih belum mendalami agama.
Memang, orang yang selalu sadar akan hakikat kehidupan ini, selalu
terhindar dari perbuatan dosa. Orang bisa memiliki kesadaran, karena kekuatan
budhinya (yang menjadi salah satu unsur alam pikiran) yang disebut citta.
Melakukan brata Siwa Ratri pada hakikatnya menguatkan unsur budhi. Dengan
memusatkan budhi tersebut pada kekuatan dan kesucian Siwa sebagai salah satu
aspek atau manifestasi Hyang Widhi Wasa, kita melebur kegelapan yang
menghalangi budhi dan menerima sinar suci Tuhan. Jika budhi selalu mendapat
sinar suci Tuhan, maka budhi akan menguatkan pikiran atau manah sehingga dapat
mengendalikan indria atau Tri Guna.
Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa.
Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika
dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama
Siwa memiliki kekauatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika
kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi
yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Dengan demikian, upacara
Siwa Ratri se-sungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa
dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati.
Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling gelap) dilangsungkan
upacara yang disebut Maha Siwa Ratri.
Untuk dapat mencapai kesadaran, kita bisa menyucikan diri dengan
melakukan sanca. Dalam Lontar Wraspati Tattwa dise-butkan, Sanca ngaranya netya
majapa maradina sarira. Sanca itu artinya melakukan japa dan membersihkan
tubuh. Sedang kitab Sarasamuscaya menyebutkan, Dhyana ngaranya ikang Siwasmarana,
artinya, dhyana namanya (bila) selalu mengingat Hyang Siwa.
Sumber Ajaran Siwa Ratri
Brata Siwa Ratri pada mulanya dirayakan amat terbatas, yaitu
hanya oleh sejumlah pendeta di Bali dan Lombok. Pada tahun 1966, setelah
hancurnya Komunisme di Indonesia, kesadaran akan kegiatan rohani kian bangkit.
Tahun 1966 itulah, perayaan Siwa Ratri mulai dimasyarakatkan oleh Parisada dan
pemerintah lewat Departemen Agama.
Mengapa Siwa Ratri dimasyarakatkan, tentu karena memang
dianjurkan oleh kitab suci Hindu. Di India, setiap menjelang bulan mati (setiap
bulan) umat Hindu menyelenggarakan Siwa Ratri dan tiap tahun merayakan Maha
Siwa Ratri. Keutamaan brata Siwa Ratri banyak diuraikan dalam pustaka berbahasa
Sanskerta, Jawa Kuno dan Bali. Ini suatu pertanda, bahwa Siwa Ratri dari sejak
dahulu sudah dirayakan baik oleh umat Hindu di India, maupun di Jawa dan Bali.
Kemudian baru sejak 1966, Siwa Ratri dirayakan oleh umat Hindu
di seluruh Indonesia. Dalam kepustakaan Sanskerta, keutamaan brata Siwa Ratri
diuraikan dalam kitab-kitab Purana, misalnya Siwa Purana, Skanda Purana, Garuda
Purana dan Padma Purana. Dalam Siwa Purana, pada bagian Jñana Samhita
memaparkan keutamaan brata Siwa Ratri dan tata-cara merayakan malam suci
terbut. Di situ ada dimuat tentang dialog antara seseorang bernama Suta dan
para rsi. Dalam percakapan tersebutlah, dikisahkanlah seseorang yang kejam
bernama Rurudruha. Ia menjadi sadar akan dosa-dosa yang telah diperbuat setelah
melakukan brata Siwa Ratri. Berkat ke sadarannya bangkit, ia tinggalkan semua
perbuatan dosa, lalu dengan mantap berjalan di jalan dharma.
Dalam Skanda Purana dituturkan percakapan seseorang bernama
Lomasa dengan para rsi. Lomasa menuturkan kejahatan orang bernama Canda yang
suka membunuh, dari membunuh binatang sampai brahmana. Namun setelah melakukan
tapa brata Siwa Ratri, Canda yang jahat itu akhirnya sadar akan segala
perbuatan dosanya dan baru memahami kebenaran. Canda akhirnya menjadi orang
suci dan bisa bersatu dengan Tuhan. Dalam Skanda Purana, juga disebutkan
tentang tata-cara dan asal-mulanya dilangsungkan upacara Siwa Ratri tersebut.
Sumber Sanskerta yang lain, yaitu Garuda Purana memaparkan
upacara Siwa Ratri lebih singkat. Di situ dituturkan tentang Sang-hyang Siwa
yang mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari itrinya (saktinya) yaitu Dewi
Parwati. Dewi Parwati bertanya, di antara pelaksanaan brata, apa yang paling
utama dilaksanakan agar men-capai kesadaran tinggi tentang nilai hidup
Ketuhanan.
Sanghyang Siwa menjawab, brata yang paling utama adalah brata
Siwa Ratri. Sanghyang Siwa juga menjelaskan tenatang tata-cara brata Siwa Ratri
tersebut. Selain itu, dikisahkan pula seorang raja bernama Sundara Senaka yang
berwatak jahat dan kasar. Raja yang disertai anjingnya selalu berburu ke hutan
membunuh binatang. Selain itu, beliau juga suka menghamburkan hawa nafsu
birahinya. Namun setelah melakukan brata Siwa Ratri, beliau sadar akan semua
perbuatan dosanya. Kemudian sang raja meninggalkan kebiasaan buruknya itu,
untuk kembali berpegang teguh ke jalan dharma.
Akan halnya dalam Padma Purana, brata Siwa Ratri termuat di
bagian Uttarakanda. Di situ dikisahkan dialog Raja Dilipa dengan Rsi Wasistha.
Rsi agung ini menjelaskan kepada Dilipa bahwa brata Siwa Ratri adalah brata
yang sangat utama. Pelaksanaannya agar dilakukan pada bulan magha dan palguna.
Dalam kitab ini dikisahkan seorang pemburu bernama Nisada yang di Indonesia
lebih dikenal dengan nama Lubdhaka (dalam bahasa Sanskerta, lubdhaka artinya
pemburu). Suatu hari, ketika Nisada berburu ke dalam hutan, ia kemalaman. Untuk
menyelamatkan diri dari ancaman binatang buas, ia berlindung di atas pohon —
yang kebetulan pohon bila. Di bawah pohon itu, ada sebuah telaga. Agar tidak
ngantuk dan tertidur (jika tertidur tentu akan jatuh), Nisada memetik-metik
daun pohon dan dijatuhkannya pada telaga.
Kebetulan di telaga itu ada sebuah lingga Siwa yang terbuat dari
kristal. Lingga itulah yang kena daun pohon. Lagi pula, malam itu adalah
Purwani Tilem Kepitu atau sehari sebelum tilem ketujuh (tilem yang paling gelap
di antara 12 tilem).
Sentuhan daun bila oleh Nisada dipandang sebagai persem-bahan
oleh Sanghyang Siwa. Nisada dipandang telah sadar akan dosa-dosa yang pernah
dibuatnya. Karena itu, Sanghyang Siwa menerima Nisada di Siwaloka, setelah
badan jasmani pemburu itu meninggal. Para peneliti menyimpulkan, Padma Purana
inilah yang menjadi sumber karya sastra yang memuat tentang Siwa Ratri yang
tersebar di Indonesia.
BrataSiwa Ratri dilaksanakan dengan tiga tingkatan ber-dasarkan
nista, madya, utama. Bentuk pelaksanaan pada tingkat nista dilaksanakan dengan
jagra. Jagra artinya sadar. Kesadaran itu dalam pelaksanaan Brata Siwa Ratri
disimpulkan dengan melaksanakan melek semalam suntuk, sambil memusatkan segala
aktivitas diri pada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sanghyang
Siwa. Ada yang melaksanakan jagra semalam suntuk dengan membahas sastra-sastra
agama, seperti kakawin dalam berbagai judul. Ada pula yang melaksanakan sauca
dan dhyana. Dalam kitab Wrhaspati Tattwa disebutkan, “Nitya majapa maradina
sarira,” artinya sauca adalah melakukan japa dan selalu membersihkan badan.
Sedangkan dhyana dalam kitab Sara-samuscaya disebutkan, Nitya Siwa Smaranam,
artinya selalu mengingat dan memuja Sanghyang Siwa.
BrataSiwa Ratri dengan jagra tidaklah tepat kalau hanya begadang
semalam suntuk tanpa arah menuju kesucian Tuhan. Jagra dalam pengertian yang
sebenarnya adalah orang yang memiliki kesadaran budhi. Melek semalam suntuk
hanyalah prilaku yang bermakna simbolis untuk memacu, tumbuhnya kesadaran budhi
yang sebenarnya.
Bentuk pelaksanaan Siwa Ratri pada tingkat madya adalah dengan
jagra dan upawasa. Upawasa dalam kitab Agni Purana berarti “kembali suci.” Yang
dimaksud kembali suci ini adalah dilatihnya indria melepaskan kenikmatan
makanan. Lezatnya makanan adalah sebatas lidah. Kalau sudah lidah dilewati
makanan itu tidak akan terasa lezat. Lidah harus dilatih untuk tidak terikat
pada kelezatan makanan. Latihan upawasa ini melahirkan sikap yang tidak
tergantung pada makanan yang enak. Tubuh mem-butuhkan makanan yang sehat dan
bergizi bukan yang enak.
Upawasadilaksanakan dengan tidak boleh makan dan minum dari pagi
hari saat matahari terbit pada panglong 14 sampai besoknya pada Tilem sasih
Kepitu saat matahari terbenam. Upawaca Siwa Ratri dilaksanakan selama 36 jam
penuh. Upawasa ini dapat dilakukan sampai bepergian ke luar rumah misalnya
sambil titra yatra. Ini bedanya dengan upawasa Nyepi yang hanya dilakukan di
tempat, tidak boleh bepergian.
Pelaksanaan brata Siwa Ratri yang paling utama bersumber dalam
sebuah kekawin berbahasa Jawa Kuna yang bernama Siwa Rarti Kalpa buah cipta
dari Mpu Tanakung. Menurut Worsley, salah seorang peneliti sastra Jawa Kuna,
bagian-bagian tertentu dari kekawin Siwa Ratri Kalpa merupakan terjemahan dari
kitab Padma Purana Sansekertia.
Kakawin Siwa Ratri Kalpa ini di Bali terkenal dengan kakawin
Lubdhaka. Kakawin itu merupakan terjemahan dari bagian Utarakanda dari Padma
Purana. Dalam Padma Purana nama si pemburu adalah Nisada sedangkan dalam
kekawin Siwa Ratri Kalpa si pemburu bernama Lubdhaka. Nama Nisada tidak
dijumpai dalam kekawin Siwa Ratri Kalpa.
Lubdhaka dalam Padma Purana bukanlah nama, tetapi artinya
pemburu. Kalau boleh disimpulkan kekawin Siwa Ratri Kalpa adalah terjemahan
bebas dari Padma Purana kedalam sastra Jawa Kuna.
Kesimpulan ini menggambarkan bahwa para ilmuan, sastrawan dan
rokhaniawan Hindu di masa lampau telah demikian mahir berbahasa Sansekerta.
Tanpa pengetahuan dan penguasaan bahasa Sansekerta yang kuat tidak mungkin Mpu
Tanakung mampu menyusun kekawin Siwa Ratri Kalpa.
Tentang Mpu Tanakung, Prof. DR. Purbacaraka pernah menduga bahwa
Mpu Tanakung adalah seorang pegawai yang hidup pada zaman Ken Arok memerintah
di Jawa Timur. Purba-caraka juga berpendapat bahwa Mpu Tanakung mengarang
kekawin Siwa Ratri Kalpa adalah untuk mengambil hati raja Ken Arok orang yang
pernah sebagai perampok dan merebut istri rajanya sendiri yaitu Tunggul
Ametung.
Prof. Zoetmulder dan Prof. A. Teuw, keduanya peneliti sastra
Jawa Kuna yang tersohor, mendapatkan kesimpulan yang amat berbeda dengan
pendapat Prof. DR. Purbacaraka. Mpu Tanakung bukanlah seorang sastrawan yang
hidup pada zaman Ken Arok. Mpu Tanakung adalah seorang Rakai yang hidup pada
zaman Majapahit akhir, yaitu antara tahun 1466-1478 M. Itu berarti sekitar dua
setengah abad setelah pemerintahan Raja Ken Arok. Ke-simpulan ini ditarik
berdasarkan hasil penelitian “Waringin Pitu” yang berangka tahun 1447 M dan
prasasti Pamintihan berangka tahun 1473 M.
Kedua prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Singawikrama yang
mempunyai nama kecil Suraprabhawa. Nama Suraprabhawa inilah yang tercantum
dalam menggala kekawin Siwa Ratri. Tujuan Mpu sebagai seorang yang suci atau
pendeta mengarang kekawin Siwa Ratri Kalpa adalah untuk menyebar luaskan ajaran
brata Siwa Ratri sebagai ajaran Hindu yang amat utama. Tidaklah mungkin seorang
Mpu yang suci menjilat sekali pun kepada rajanya sendiri.
Dalam tradisi Hindu orang suci seperti Mpu mendapat kedudukan
yang sejajar dengan seorang raja dalam fungsi yang berbeda.
Oleh karena itu Empu Tanakung dapat diyakini seorang, tokoh
agama yang menyebarkan ajaran suci agama Hindu termasuk ajaran Siwa Ratri.
Dapat dipastikan pula Empu Tanakung adalah seorang sastrawan
spiritual yang ahli bahasa Sansekerta dan ahli bahasa Jawa Kuna. Kemahiran
beliau dalam dua bahasa inilah yang menyebabkan beliau dapat dengan mudah
mendalami tatwa-adyatmika yang terdapat dalam sastra-sastra Hindu seperti
ajaran Siwa Ratri dalam Padma Purana.
Di Bali ajaran Siwa Ratri disebarkan dalam berbagai bentuk. Di
Bali terdapat lontar yang menguraikan keutamaan brata Siwa Ratri seperti
Geguritan Lubdhaka danLontar Lubdhaka Caritra. Kedua lontar itu terdapat dalam
koleksi lontar Fak. Sastra Unud Denpasar. Di Gedung Kertya terdapat lontar Aji
Brata yang juga menguraikan keutamaan brata Siwa Ratri.
Pelaksanaan Brata Siwa
Ratri.
Tata pelaksanaan brata Siwa Rarti telah diseminarkan oleh PHDI
Pusat bersama dengan IHD Denpasar tahun 1984. Hasil seminar tersebut telah
ditetapkan oleh PHDI Pusat menjadi Pedoman Pelaksanaan Brata Siwa Ratri. Brata
Siwa Ratri dilaksanakan pada hari “Catur Dasi Krsna Paksa” bulan Magha yaitu
panglong ping empat belas sasihkapitu.
Tujuan brata Siwa Ratri untuk menemukan “kesadaran diri” (atutur
ikang atma rijatinia). Brata tersebut dilaksanakan dengan upawasa, monabrata
dan jagra. Monaartinya berdiam diri tidak bicara. Mona artinya bertujuan
melatih diri dalam hal berbicara agar biasa bicara dengan penuh pengendalian
sehingga tidak keluar ucapan-ucapan yang tidak patut diucapkan. Mona berarti
melatih pembicaraan pada diri sendiri dengan merenungkan kesucian.
Sehabis sembahyang atau meditasi dan japa biasakan me-lakukan
mona atau agak membatasi berbicara. Hal ini akan bermaanfaat untuk memberikan
kesempatan pada berkembangnya “positif energi” untuk menggeser “parasit
energi.”
Positif energi dalam diri akan dapat memberikan kita kesehatan,
ketenangan dan kesucian. Kalau tiga hal ini dapat kita miliki dalam hidup maka
hidup yang bahagia lahir bathin akan semakin kita rasakan.
Demikianlah tiga tingkatan pelaksanaan brata Siwa Ratri
berdasarkan nista madya utama. Dari segi makna amat tergantung kesungguhan
sikap kita melaksanakan brata tersebut. Meskipun kita mengambil yang nista
namun sikap yang melandasi ber-sungguh-sungguh, maka yang nista itu pun akan
menghasilkan yang utama.
Sumber: HDNet
0 komentar:
Posting Komentar